APDESI Meranti, Audiensi Ke Kantor Staf Presiden di Jakarta Terkait Agraria dan Pertanahan Selasa, 19/07/2022 | 09:29
Foto : Saat Audensi di Kantor Staf Presiden di Jakarta
KEPULAUAN MERANTI - Persoalan agraria dan pertanahan menjadi persoalan serius di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Hal ini terkait dengan terkendalanya proses sertifikasi tanah melalui program Pemetaan Terpadu Sistematis Lengkap (PTSL) yang dilaksankan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) Kepulauan Meranti bersama pemerintah desa dan masyarkat pada tahun 2020 hingga 2021.
Seperti yang di ungkapkan oleh Toha, SE Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kepulauan Meranti.
“Dari 21.808 bidang tanah yang telah dilakukan pemetaan di Meranti, itu hanya 2026 bidang yang bisa dibuat sampai terbit sertifikat tanahnya. Padahal yang dipetakan tersebut berupa permukiman penduduk dan kebun-kebun masyarakat dan juga sarana umum seperti sekolah, masjid dan sarana pemerintah,” kata Toha, SE selaku ketua APDESI Kepulauan Meranti kepada awak media. Selasa (19/07/2022).
“Tentunya ini menjadi masalah di masyarkat jika tanah dan kebun mereka tidak dapat disertifikatkan sebagai bukti alas hak kepemilikan, padahal itu berada di luar kawasan hutan. Maka dari itu berhubung saat ini kami bersama kades-kades se Riau yang tergabung di APDESI sedang berada di Jakarta mengikuti kegiatan bimbingan teknis bertema Orientasi Pembangunan Desa Berkelanjutan, maka kami dari Meranti mengambil kesempatan untuk berkordinasi langsung dengan Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia Bapak Abetnego Tarigan yang membidangi Pembangunan Manusia. Alhamdulillah melalui audiensi ini kita mendapatkan arahan dan solusi untuk permasalahan agraria dan pertanahan tersebut,” Ungkap Toha
Di kesempatan yang sama Isnadi Esman Kepala Desa Bagan Melibur yang turut hadir dalam kegiatan di Jakarta tersebut mengutarakan. “Di desa kami dari 1.400 bidang tanah yang di petakan BPN itu hanya 12 sertifikat yang bisa terbit, bahkan di desa tetangga kami Mayang Sari dari 800 bidang yang di ajukan tidak satupun yang bisa di terbitkan sertifikat, ini hanya contoh kecil bahkan banyak lagi desa-desa di Meranti mengalami hal serupa," Keluh Isnadi.
“Kami berharap ada solusi kongkrit dari Kementerian terkait untuk menyelesaikan persoalan pertanahan ini. Agar masyarakat memiliki kepastian hukum berupa alas hak yang sah berdasarkan aturan pemerintah terhadap tanah, rumah dan wilayah kelola berupa kebun dan perladangan yang telah dikelola secara turun temurun sejak nenek moyang kami,” Pungkas Isnadi. (Rls)