Waspada Oplosan - Penimbunan LPG "Melon" Akibat Naiknya Harga LPG Non Subsidi Selasa, 01/03/2022 | 23:39
JAKARTA -Pemerintah bersama otoritas terkait diminta untuk terus mewaspadai dampak dari kenaikan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) non subsidi tabung 5,5 kilo gram (kg) dan 12 kg.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kenaikan harga LPG non subsidi saat ini sudah tepat. Pasalnya kenaikan harga saat ini masih jauh dari nilai keekonomian.
Seperti diketahui, harga LPG di Indonesia saat ini sangat bergantung terhadap harga internasional dalam hal ini Contract Price Aramco (CP Aramco), yang kini harga kontraknya mencapai US$ 775 per metrik ton atau naik sekira 21% dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun lalu.
PT Pertamina (Persero) secara resmi menaikkan harga LPG non subsidi seperti tabung ukuran 5,5 kg dan 12 kg per hari Minggu, 27 Februari 2022.
Harga LPG non subsidi yang berlaku mulai 27 Februari 2022 ini sekitar Rp 15.500 per kg. Ini merupakan kenaikan harga LPG non subsidi untuk kali kedua sejak akhir Desember 2021 lalu.
Perlu diketahui, sebelumnya harga LPG non subsidi dibanderol Rp 11.500 per kg, kemudian naik pada Desember 2021 menjadi Rp 13.500 per kg dan kini per 27 Februari 2022 naik lagi menjadi Rp 15.500 per kg.
Meskipun kenaikan harga LPG non subsidi ini sudah dinilai tepat, namun menurut Mamit pemerintah dan otoritas mesti waspada terhadap dampak kenaikan harga LPG si tabung biru ini.
Dampaknya pasti adanya migrasi yang non subsidi ke subsidi. Memang tidak bisa dihindari, karena disparitas harganya sangat jauh sekali," jelas Mamit kepada CNBC Indonesia, Selasa (01/03/2022).
Berdasarkan keterangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), setiap kenaikan harga minyak mentah US$ 1 per barel, akan berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekira Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.
Subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 ditetapkan sebesar Rp 77,5 triliun. Subsidi tersebut pada saat ICP sebesar US$ 63 per barel. Namun pada 24 Februari 2022 lalu ketika harga minyak mentah dunia menembus hingga US$ 105 per barel, ICP pun meroket menjadi US$ 95,45 per barel. Artinya, kini sudah ada selisih ICP dari yang telah diasumsikan sebesar US$ 32,45 per barel.
"Potensi pengoplosan itu sangat besar sekali, karena disparitas harga juga sangat tinggi. Sejak LPG subsidi ini digaungkan sampai sekarang belum ada kenaikan. Bebannya besar sekali oleh pemerintah menanggung subsidi ini," jelas Mamit.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Dia mengatakan, kenaikan harga LPG non subsidi akan berdampak besar terhadap level inflasi.
Tauhid memprediksi inflasi akan menyentuh level tertingginya pada rentang 3%.
"Menjelang Ramadan, Lebaran, ini inflasi akan melonjak hingga 3%," tuturnya.
Memasuki bulan Ramadan yang diperkirakan akan jatuh pada awal April 2022 nanti, maka jangan heran gas akan semakin banyak diburu karena kebutuhan masyarakat pasti meningkat.
Adanya kenaikan ini, dikhawatirkan orang-orang justru akan beralih kepada penggunaan LPG subsidi 3 kg yang saat ini sistem subsidinya masih dijalankan secara terbuka atau belum tepat sasaran. Bahkan, dikhawatirkan akan terjadi penimbunan gas 3 kg.
"Gas akan diburu dan khawatir ada penimbunan gas 3 kg, karena gap harga yang tinggi. Kemudian akan dioplos ke gas 12 kg. Saya kira ini jadi problem yang bisa muncul. Karena demand tinggi dan di beberapa wilayah terjadi kelangkaan," jelas Ahmad kepada CNBC Indonesia.
Baik Mamit dan Ahmad menyepakati bahwa pemerintah harus mewaspadai hal ini. Salah satu yang harus dilakukan dalam jangka pendek adalah memperbaiki data untuk menerapkan subsidi LPG 3 kg secara tertutup.
Seperti diketahui, saat ini subsidi LPG 3 kg atau gas melon berlangsung secara terbuka, atau disebut juga diberikan berdasarkan komoditas atau LPG-nya. Dengan adanya subsidi tertutup, maka subsidi hanya akan diberikan langsung kepada masyarakat yang berhak menerimanya.